Kecebol nggayuh ngawiyat
Ada cerita di pewayangan, Petruk yang ‘pesuruh’ Pandawa itu tampil sebagai pemimpin. Rakyat jelata madeg keprabon dan menjadi raja. Adakah dengan begitu derita rakyat beralih menjadi kebahagiaan kaum proletar? Ternyata tidak!
Sikap adigang-adigung dan keserakahan justru yang jadi gaya hidup. Celakanya kini banyak Petruk mendaftar jadi pemimpin. Bagaimana rupa negeri ini ke depan? Benarkah tambah amburadul sambil guyonan?
Sekarang memang lagi panen. Panen ‘jualan’ rakyat. Nama rakyat dicatut, diinventarisasi problem hidupnya, diberi solusi muluk-muluk, dan dipajang di mana-mana oleh mereka yang mengatasnamakan ‘wakil rakyat’. Tivi dan radio merilis semua itu, juga digeber dalam bentangan spanduk, baliho serta umbul-umbul.
Melihat itu, sepintas negeri ini mirip negeri impian. Negeri dongeng yang menempatkan rakyat dalam posisi terhormat. Nasib rakyat diperhatikan, deritanya diatasi, dan derajatnya diangkat bagi yang belum ‘berderajat’.
Dari ‘bualan’ para calon pemimpin itu, rakyat negeri ini rasanya tak lama lagi bakal berubah drastis. Dari tak terpelajar menjadi terpelajar, dari miskin menjadi kaya, dan dari kesulitan mencari lapangan kerja menjadi tak sulit lagi pekerjaan.
Sayangnya, kalau kita merujuk sejarah, ternyata semua itu hanyalah janji gombal calon pemimpin. Itu cuma dongeng, karena itu tak bakalan nyata. Janji itu langsung lumer ketika jabatan sudah didapat, dan menguap seiring putaran waktu berkuasa.
Ratu Adil adalah contohnya. Mesias yang kedatangannya selalu dinanti masyarakat Jawa itu, datang dan pergi tanpa mewariskan ‘keadilan dan kesejahteraan’ yang digembar-gemborkan. Padahal ratusan tahun lalu Jangka Jayabaya sudah memaktub itu. Dari deskripsi sosok Satrio Piningit yang diidolakan hingga naluri ‘keadilan dan kesejahteraan’, paket yang ikut dibawanya.
Namun yang terjadi justru menunggu Godot. Penungguan sia-sia itu dimulai dari Erucakra, julukan mistis Pangeran Diponegoro (1825-1830). Tokoh ini tak jeda mengajak berjuang melawan Belanda sambil bergerilya di perbukitan Menoreh. Tapi sampai ditangkap dan dibuang hingga rohnya terpisah dengan raga, Ratu Adil itu belum berhasil mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat yang dijanjikannya.
Tokoh yang diidentifikasi sebagai Ratu Adil, Satrio Piningit, Satrio Pinilih berikutnya ‘manjing’ pada Bung Karno. Sang Proklamator itu ‘dikudeta’ Soeharto dan ‘wahyu’ itu merasuk pada Megawati. ‘Kesalahan’ Taufiq Kiemas harus dibayar mahal. ‘Wahyu’ itu kabur dari Mega dan berkelana kemana-mana sebelum masuk badan wadag Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Pemimpin negeri ini memang terus berganti. Tapi dari waktu ke waktu, mitos ‘pemerintahan adil dan rakyat sejahtera’ ujaran Jangka Jayabaya laten jadi mitos. ‘Ugeman’ penjaga hati kecil manusia itu utuh tak terpecahkan. Jangan lagi ‘orang mengantuk teklak-tekluk ikut menikmati luberan rejeki’ seperti suratan serat itu, yang kerja keras saja masih kelabakan mencukupi kehidupan anak istrinya. Sampek di rewangi klayapan teko korea selatan.
Jadi, kalau Ratu Adil saja tak mampu memberi keadilan dan kesejahteraan, maka yang mendekati realitas mungkin kisah Petruk jadi raja. Simbol rakyat jelata yang lugu dan polos ini biasa menyandarkan diri ‘nriman sak jerone pandum (menerima tanpa protes rejeki pemberian Gusti Allah). Itu karena filosofinya, urip iku sak dermo nglakoni. Manusia hidup itu hanya menjalani skenario Yang di Atas.
Akhirnya sang dalang yang mbalelo tidak mematuhi pakem, mengangkat ‘tokoh ger-geran’ ini jadi pemimpin. Gambaran sederhananya, ‘wong ndeso miskin’, kalau berkuasa tentu akan memperjuangkan semua ‘wong ndeso’ agar kaya, makmur, dan tata tentrem karta raharja.
Eh yang terjadi malah sebaliknya. Kekuasaan membuatnya sombong dan takabur. Kekayaan berlimpah mengubah hidupnya foya-foya. Jalan ke sekeliling dunia .Sikap itu yang membuat rakyat marah. Untung masih ada dewa yang punya kuasa lebih tinggi dari Petruk. Tokoh berhidung mirip Pinokio itu ‘dikembalikan’ pada kehidupan lamanya.
Sekarang, calon presiden (capres) seabreg-abreg. Semua jual kecap sebagai putera terbaik. Ada yang janji memakmurkan rakyat, membuka lapangan kerja, swasembada macam-macam, dan ada pula yang pakai kontrak politik segala. Mereka tidak mau ‘nggrayangi bathuke’, tidak mau meraba jidatnya, bahwa sebelum ‘daftar’ jadi presiden, pernah menebar aib dan berbuat tercela.
Maka, agar tidak ‘membeli Petruk’ dalam karung, bobot, bibit, bebet calon presiden perlu ditelaah. Dari incumbent, mantan presiden, mantan Pangab, mantan Pangkostrad, wakil presiden, putera Bung Tomo, raja Jawa, sampai Jenderal Nagabonar yang ‘tukang copet’ itu.
Masih adakah yang daftar lagi jadi Petruk?
Sikap adigang-adigung dan keserakahan justru yang jadi gaya hidup. Celakanya kini banyak Petruk mendaftar jadi pemimpin. Bagaimana rupa negeri ini ke depan? Benarkah tambah amburadul sambil guyonan?
Sekarang memang lagi panen. Panen ‘jualan’ rakyat. Nama rakyat dicatut, diinventarisasi problem hidupnya, diberi solusi muluk-muluk, dan dipajang di mana-mana oleh mereka yang mengatasnamakan ‘wakil rakyat’. Tivi dan radio merilis semua itu, juga digeber dalam bentangan spanduk, baliho serta umbul-umbul.
Melihat itu, sepintas negeri ini mirip negeri impian. Negeri dongeng yang menempatkan rakyat dalam posisi terhormat. Nasib rakyat diperhatikan, deritanya diatasi, dan derajatnya diangkat bagi yang belum ‘berderajat’.
Dari ‘bualan’ para calon pemimpin itu, rakyat negeri ini rasanya tak lama lagi bakal berubah drastis. Dari tak terpelajar menjadi terpelajar, dari miskin menjadi kaya, dan dari kesulitan mencari lapangan kerja menjadi tak sulit lagi pekerjaan.
Sayangnya, kalau kita merujuk sejarah, ternyata semua itu hanyalah janji gombal calon pemimpin. Itu cuma dongeng, karena itu tak bakalan nyata. Janji itu langsung lumer ketika jabatan sudah didapat, dan menguap seiring putaran waktu berkuasa.
Ratu Adil adalah contohnya. Mesias yang kedatangannya selalu dinanti masyarakat Jawa itu, datang dan pergi tanpa mewariskan ‘keadilan dan kesejahteraan’ yang digembar-gemborkan. Padahal ratusan tahun lalu Jangka Jayabaya sudah memaktub itu. Dari deskripsi sosok Satrio Piningit yang diidolakan hingga naluri ‘keadilan dan kesejahteraan’, paket yang ikut dibawanya.
Namun yang terjadi justru menunggu Godot. Penungguan sia-sia itu dimulai dari Erucakra, julukan mistis Pangeran Diponegoro (1825-1830). Tokoh ini tak jeda mengajak berjuang melawan Belanda sambil bergerilya di perbukitan Menoreh. Tapi sampai ditangkap dan dibuang hingga rohnya terpisah dengan raga, Ratu Adil itu belum berhasil mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat yang dijanjikannya.
Tokoh yang diidentifikasi sebagai Ratu Adil, Satrio Piningit, Satrio Pinilih berikutnya ‘manjing’ pada Bung Karno. Sang Proklamator itu ‘dikudeta’ Soeharto dan ‘wahyu’ itu merasuk pada Megawati. ‘Kesalahan’ Taufiq Kiemas harus dibayar mahal. ‘Wahyu’ itu kabur dari Mega dan berkelana kemana-mana sebelum masuk badan wadag Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Pemimpin negeri ini memang terus berganti. Tapi dari waktu ke waktu, mitos ‘pemerintahan adil dan rakyat sejahtera’ ujaran Jangka Jayabaya laten jadi mitos. ‘Ugeman’ penjaga hati kecil manusia itu utuh tak terpecahkan. Jangan lagi ‘orang mengantuk teklak-tekluk ikut menikmati luberan rejeki’ seperti suratan serat itu, yang kerja keras saja masih kelabakan mencukupi kehidupan anak istrinya. Sampek di rewangi klayapan teko korea selatan.
Jadi, kalau Ratu Adil saja tak mampu memberi keadilan dan kesejahteraan, maka yang mendekati realitas mungkin kisah Petruk jadi raja. Simbol rakyat jelata yang lugu dan polos ini biasa menyandarkan diri ‘nriman sak jerone pandum (menerima tanpa protes rejeki pemberian Gusti Allah). Itu karena filosofinya, urip iku sak dermo nglakoni. Manusia hidup itu hanya menjalani skenario Yang di Atas.
Akhirnya sang dalang yang mbalelo tidak mematuhi pakem, mengangkat ‘tokoh ger-geran’ ini jadi pemimpin. Gambaran sederhananya, ‘wong ndeso miskin’, kalau berkuasa tentu akan memperjuangkan semua ‘wong ndeso’ agar kaya, makmur, dan tata tentrem karta raharja.
Eh yang terjadi malah sebaliknya. Kekuasaan membuatnya sombong dan takabur. Kekayaan berlimpah mengubah hidupnya foya-foya. Jalan ke sekeliling dunia .Sikap itu yang membuat rakyat marah. Untung masih ada dewa yang punya kuasa lebih tinggi dari Petruk. Tokoh berhidung mirip Pinokio itu ‘dikembalikan’ pada kehidupan lamanya.
Sekarang, calon presiden (capres) seabreg-abreg. Semua jual kecap sebagai putera terbaik. Ada yang janji memakmurkan rakyat, membuka lapangan kerja, swasembada macam-macam, dan ada pula yang pakai kontrak politik segala. Mereka tidak mau ‘nggrayangi bathuke’, tidak mau meraba jidatnya, bahwa sebelum ‘daftar’ jadi presiden, pernah menebar aib dan berbuat tercela.
Maka, agar tidak ‘membeli Petruk’ dalam karung, bobot, bibit, bebet calon presiden perlu ditelaah. Dari incumbent, mantan presiden, mantan Pangab, mantan Pangkostrad, wakil presiden, putera Bung Tomo, raja Jawa, sampai Jenderal Nagabonar yang ‘tukang copet’ itu.
Masih adakah yang daftar lagi jadi Petruk?