Tolong bagi pengunjung blog ini mohon mengisi di buku tamu ,ok,,? Raharjo dwisasono: 14/06/09 - 21/06/09

Raharjo dwisasono

Untaian kata kata terangkai menjadi postingan

Rabu, 17 Juni 2009

Kecebol nggayuh ngawiyat


Ada cerita di pewayangan, Petruk yang ‘pesuruh’ Pandawa itu tampil sebagai pemimpin. Rakyat jelata madeg keprabon dan menjadi raja. Adakah dengan begitu derita rakyat beralih menjadi kebahagiaan kaum proletar? Ternyata tidak!

Sikap adigang-adigung dan keserakahan justru yang jadi gaya hidup. Celakanya kini banyak Petruk mendaftar jadi pemimpin. Bagaimana rupa negeri ini ke depan? Benarkah tambah amburadul sambil guyonan?

Sekarang memang lagi panen. Panen ‘jualan’ rakyat. Nama rakyat dicatut, diinventarisasi problem hidupnya, diberi solusi muluk-muluk, dan dipajang di mana-mana oleh mereka yang mengatasnamakan ‘wakil rakyat’. Tivi dan radio merilis semua itu, juga digeber dalam bentangan spanduk, baliho serta umbul-umbul.

Melihat itu, sepintas negeri ini mirip negeri impian. Negeri dongeng yang menempatkan rakyat dalam posisi terhormat. Nasib rakyat diperhatikan, deritanya diatasi, dan derajatnya diangkat bagi yang belum ‘berderajat’.

Dari ‘bualan’ para calon pemimpin itu, rakyat negeri ini rasanya tak lama lagi bakal berubah drastis. Dari tak terpelajar menjadi terpelajar, dari miskin menjadi kaya, dan dari kesulitan mencari lapangan kerja menjadi tak sulit lagi pekerjaan.

Sayangnya, kalau kita merujuk sejarah, ternyata semua itu hanyalah janji gombal calon pemimpin. Itu cuma dongeng, karena itu tak bakalan nyata. Janji itu langsung lumer ketika jabatan sudah didapat, dan menguap seiring putaran waktu berkuasa.

Ratu Adil adalah contohnya. Mesias yang kedatangannya selalu dinanti masyarakat Jawa itu, datang dan pergi tanpa mewariskan ‘keadilan dan kesejahteraan’ yang digembar-gemborkan. Padahal ratusan tahun lalu Jangka Jayabaya sudah memaktub itu. Dari deskripsi sosok Satrio Piningit yang diidolakan hingga naluri ‘keadilan dan kesejahteraan’, paket yang ikut dibawanya.

Namun yang terjadi justru menunggu Godot. Penungguan sia-sia itu dimulai dari Erucakra, julukan mistis Pangeran Diponegoro (1825-1830). Tokoh ini tak jeda mengajak berjuang melawan Belanda sambil bergerilya di perbukitan Menoreh. Tapi sampai ditangkap dan dibuang hingga rohnya terpisah dengan raga, Ratu Adil itu belum berhasil mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat yang dijanjikannya.

Tokoh yang diidentifikasi sebagai Ratu Adil, Satrio Piningit, Satrio Pinilih berikutnya ‘manjing’ pada Bung Karno. Sang Proklamator itu ‘dikudeta’ Soeharto dan ‘wahyu’ itu merasuk pada Megawati. ‘Kesalahan’ Taufiq Kiemas harus dibayar mahal. ‘Wahyu’ itu kabur dari Mega dan berkelana kemana-mana sebelum masuk badan wadag Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Pemimpin negeri ini memang terus berganti. Tapi dari waktu ke waktu, mitos ‘pemerintahan adil dan rakyat sejahtera’ ujaran Jangka Jayabaya laten jadi mitos. ‘Ugeman’ penjaga hati kecil manusia itu utuh tak terpecahkan. Jangan lagi ‘orang mengantuk teklak-tekluk ikut menikmati luberan rejeki’ seperti suratan serat itu, yang kerja keras saja masih kelabakan mencukupi kehidupan anak istrinya. Sampek di rewangi klayapan teko korea selatan.

Jadi, kalau Ratu Adil saja tak mampu memberi keadilan dan kesejahteraan, maka yang mendekati realitas mungkin kisah Petruk jadi raja. Simbol rakyat jelata yang lugu dan polos ini biasa menyandarkan diri ‘nriman sak jerone pandum (menerima tanpa protes rejeki pemberian Gusti Allah). Itu karena filosofinya, urip iku sak dermo nglakoni. Manusia hidup itu hanya menjalani skenario Yang di Atas.

Akhirnya sang dalang yang mbalelo tidak mematuhi pakem, mengangkat ‘tokoh ger-geran’ ini jadi pemimpin. Gambaran sederhananya, ‘wong ndeso miskin’, kalau berkuasa tentu akan memperjuangkan semua ‘wong ndeso’ agar kaya, makmur, dan tata tentrem karta raharja.

Eh yang terjadi malah sebaliknya. Kekuasaan membuatnya sombong dan takabur. Kekayaan berlimpah mengubah hidupnya foya-foya. Jalan ke sekeliling dunia .Sikap itu yang membuat rakyat marah. Untung masih ada dewa yang punya kuasa lebih tinggi dari Petruk. Tokoh berhidung mirip Pinokio itu ‘dikembalikan’ pada kehidupan lamanya.

Sekarang, calon presiden (capres) seabreg-abreg. Semua jual kecap sebagai putera terbaik. Ada yang janji memakmurkan rakyat, membuka lapangan kerja, swasembada macam-macam, dan ada pula yang pakai kontrak politik segala. Mereka tidak mau ‘nggrayangi bathuke’, tidak mau meraba jidatnya, bahwa sebelum ‘daftar’ jadi presiden, pernah menebar aib dan berbuat tercela.

Maka, agar tidak ‘membeli Petruk’ dalam karung, bobot, bibit, bebet calon presiden perlu ditelaah. Dari incumbent, mantan presiden, mantan Pangab, mantan Pangkostrad, wakil presiden, putera Bung Tomo, raja Jawa, sampai Jenderal Nagabonar yang ‘tukang copet’ itu.

Masih adakah yang daftar lagi jadi Petruk?

Jam 9,tgl 9 bulan 9 akan kiamat

Raja Majapahit terpaksa harus berpisah dengan guru spiritualnya yang bernama Sabdo Palon Noyo Genggong. Itu karena alasan, sang raja pindah agama, meninggalkan kepercayaan lama yang telah mengurat akar.

Sabdo Palon antipati dengan sikap raja itu. Dia memaparkan pandangan metafisisnya. Katanya, agama baru yang sempurna itu tidak dijalankan paripurna oleh pemeluknya. Oleh karena itu agama ini akan hancur akibat itu, sebelum agama lama kembali berjaya.

Pandangan macam itu tidak meruntuhkan niat sang raja. Raja tetap kukuh. Kekukuhan itu yang membuat Sabdo Palon berang. Dia geram dan terpaksa melepas ‘murid terkasihnya’. ‘Raja’ para demit itu mengubah wujud menjadi sinar, dan berkelebat cepat terbang menuju timur. Sabdo Palon akhirnya tampil sebagai penguasa Alas Purwo, memerintah makhluk halus se-Tanah Jawa.

Pukul sembilan, tanggal sembilan, bulan sembilan, tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan kegaduhan melanda negeri ini. Tanggal, bulan dan tahun itu diidentifikasi sebagai ‘saatnya kiamat’ tiba. Itu karena dalam hitung-hitungan Jawa, tanggal, bulan, dan tahun itu persis hari Sabdo Palon nagih janji. Janjinya sangat mengerikan. Penguasa ‘jagat cilik’ itu akan menghancur-leburkan Tanah Jawa. Itu setelah 500 tahun negari yang didirikan Raden Wijaya sirna.

Tapi syukur alhamdulillah, kutuk Sabdo Palon itu tak terbukti. Sampai hari ini dunia masih indah untuk dihuni. Rodanya berputar melahirkan semilir angin, dan matahari cerah, sinarnya memberi kehangatan. Kita semua masih sehat wal afiat. Tapi apa hubungan antara para capres dan ‘tagihan’ Sabdo Palon?

Zaman memang berganti. Tapi setting terhadap isi zaman tidak banyak berubah. Sejarah terus berulang kendati tidak melingkar monoton tetapi dinamis spiral. Bertolak dari itu, maka ‘tagihan’ janji para capres identik dengan ‘tagihan’ Sabdo Palon. Tagihan itu ‘seru dan seram’, tetapi bakal ‘batal’ ditelan waktu. Mengapa begitu?

Itu karena kuasa dan kekuasaan adalah sakral. Dibangun atas indikator-indikator kasat mata dan sentuhan batin yang bersifat metafisis. Untuk itu bukan ‘pemilik kata’ dan teriakan ideal sinyal perengkuh ‘wahyu keprabon’, tapi justru ‘manjing’ pada mereka yang bersikap diam tetapi jiwanya bergemuruh. Siapakah gerangan?
Foto Saya
Nama:
Lokasi: gading mangu perak jombang, jatim, Indonesia

widgets
ShoutMix chat widget

Free Mp3 Music Player at www.musik-live.net

Powered by Blogger

Berlangganan
Postingan [Atom]

 

Mau kaya macam gayus ?Klik di sini....