Jam 9,tgl 9 bulan 9 akan kiamat
Raja Majapahit terpaksa harus berpisah dengan guru spiritualnya yang bernama Sabdo Palon Noyo Genggong. Itu karena alasan, sang raja pindah agama, meninggalkan kepercayaan lama yang telah mengurat akar.
Sabdo Palon antipati dengan sikap raja itu. Dia memaparkan pandangan metafisisnya. Katanya, agama baru yang sempurna itu tidak dijalankan paripurna oleh pemeluknya. Oleh karena itu agama ini akan hancur akibat itu, sebelum agama lama kembali berjaya.
Pandangan macam itu tidak meruntuhkan niat sang raja. Raja tetap kukuh. Kekukuhan itu yang membuat Sabdo Palon berang. Dia geram dan terpaksa melepas ‘murid terkasihnya’. ‘Raja’ para demit itu mengubah wujud menjadi sinar, dan berkelebat cepat terbang menuju timur. Sabdo Palon akhirnya tampil sebagai penguasa Alas Purwo, memerintah makhluk halus se-Tanah Jawa.
Pukul sembilan, tanggal sembilan, bulan sembilan, tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan kegaduhan melanda negeri ini. Tanggal, bulan dan tahun itu diidentifikasi sebagai ‘saatnya kiamat’ tiba. Itu karena dalam hitung-hitungan Jawa, tanggal, bulan, dan tahun itu persis hari Sabdo Palon nagih janji. Janjinya sangat mengerikan. Penguasa ‘jagat cilik’ itu akan menghancur-leburkan Tanah Jawa. Itu setelah 500 tahun negari yang didirikan Raden Wijaya sirna.
Tapi syukur alhamdulillah, kutuk Sabdo Palon itu tak terbukti. Sampai hari ini dunia masih indah untuk dihuni. Rodanya berputar melahirkan semilir angin, dan matahari cerah, sinarnya memberi kehangatan. Kita semua masih sehat wal afiat. Tapi apa hubungan antara para capres dan ‘tagihan’ Sabdo Palon?
Zaman memang berganti. Tapi setting terhadap isi zaman tidak banyak berubah. Sejarah terus berulang kendati tidak melingkar monoton tetapi dinamis spiral. Bertolak dari itu, maka ‘tagihan’ janji para capres identik dengan ‘tagihan’ Sabdo Palon. Tagihan itu ‘seru dan seram’, tetapi bakal ‘batal’ ditelan waktu. Mengapa begitu?
Itu karena kuasa dan kekuasaan adalah sakral. Dibangun atas indikator-indikator kasat mata dan sentuhan batin yang bersifat metafisis. Untuk itu bukan ‘pemilik kata’ dan teriakan ideal sinyal perengkuh ‘wahyu keprabon’, tapi justru ‘manjing’ pada mereka yang bersikap diam tetapi jiwanya bergemuruh. Siapakah gerangan?
Sabdo Palon antipati dengan sikap raja itu. Dia memaparkan pandangan metafisisnya. Katanya, agama baru yang sempurna itu tidak dijalankan paripurna oleh pemeluknya. Oleh karena itu agama ini akan hancur akibat itu, sebelum agama lama kembali berjaya.
Pandangan macam itu tidak meruntuhkan niat sang raja. Raja tetap kukuh. Kekukuhan itu yang membuat Sabdo Palon berang. Dia geram dan terpaksa melepas ‘murid terkasihnya’. ‘Raja’ para demit itu mengubah wujud menjadi sinar, dan berkelebat cepat terbang menuju timur. Sabdo Palon akhirnya tampil sebagai penguasa Alas Purwo, memerintah makhluk halus se-Tanah Jawa.
Pukul sembilan, tanggal sembilan, bulan sembilan, tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan kegaduhan melanda negeri ini. Tanggal, bulan dan tahun itu diidentifikasi sebagai ‘saatnya kiamat’ tiba. Itu karena dalam hitung-hitungan Jawa, tanggal, bulan, dan tahun itu persis hari Sabdo Palon nagih janji. Janjinya sangat mengerikan. Penguasa ‘jagat cilik’ itu akan menghancur-leburkan Tanah Jawa. Itu setelah 500 tahun negari yang didirikan Raden Wijaya sirna.
Tapi syukur alhamdulillah, kutuk Sabdo Palon itu tak terbukti. Sampai hari ini dunia masih indah untuk dihuni. Rodanya berputar melahirkan semilir angin, dan matahari cerah, sinarnya memberi kehangatan. Kita semua masih sehat wal afiat. Tapi apa hubungan antara para capres dan ‘tagihan’ Sabdo Palon?
Zaman memang berganti. Tapi setting terhadap isi zaman tidak banyak berubah. Sejarah terus berulang kendati tidak melingkar monoton tetapi dinamis spiral. Bertolak dari itu, maka ‘tagihan’ janji para capres identik dengan ‘tagihan’ Sabdo Palon. Tagihan itu ‘seru dan seram’, tetapi bakal ‘batal’ ditelan waktu. Mengapa begitu?
Itu karena kuasa dan kekuasaan adalah sakral. Dibangun atas indikator-indikator kasat mata dan sentuhan batin yang bersifat metafisis. Untuk itu bukan ‘pemilik kata’ dan teriakan ideal sinyal perengkuh ‘wahyu keprabon’, tapi justru ‘manjing’ pada mereka yang bersikap diam tetapi jiwanya bergemuruh. Siapakah gerangan?
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda